Bookmark and Share

20 Maret 2010

Wiji Thukul dan Sebutir Peluru

  • Share
  • [i]


Penyair ini bukan “menghilang" melainkan "dihilangkan" secara misterius pada detik-detik menjelang runtuhnya rezim Orde Baru. Dia menawarkan sebuah pemberontakan yang sama sekali baru bagi kaum marjinal. Dia salah seorang penyaksi betapa hidup dan bersuara di negeri sendiri harus dibayar mahal dengan penculikan dirinya. Dia juga adalah sebutir peluru bagi revolusi kreatif dunia kepenyairan tanah air.

Puisi tidak harus dimuat atau diterbitkan oleh kaum industrialis, kaum yang mempekerjakan buruh. Puisi bagi Wiji Thukul adalah cara yang mampu menyampaikan permasalahan dirinya selaku orang kecil, orang tertindas, yang secara kebetulan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya. Dia sesungguhnya tidak bermasud membela rakyat, melainkan membela dirinya sendiri, lingkungan, komunitas yang menghidupi dirinya: tukang pelitur, istri tukang jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan hidupnya yang melarat.

Wiji Thukul lahir di tengah keluarga tukang becak dan buruh, 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo. Dengan susah payah berhasil menamatkan SMP (1979), masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari, tetapi tidak tamat (1982), hanya sampai kelas dua lantaran kesulitan uang.

Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel sebagai tukang pelitur.Di tempat kerjanya itu dia dikenal sebagai penyair pelo (cadel) yang sering menghibur teman-teman sekerjanya dengan puisi.

Wiji Thukul menulis puisi dan main teater sejak masih duduk di bangku SD. Bersama kelompok teater JAGAT (Jagalan Tengah) dia pernah keluar masuk kampung mengamen puisi dengan iringan rebana, gong, suling, kentongan dan gitar.

Istrinya Sipon bekerja sebagai tukang jahit. Wiji Thukul juga membantu istrinya dengan menerima pesanan sablonan. Dia memiliki dua orang anak: Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Penghargaan di bidang sastra: dia menerima WERTHEIM ENCOURAGE AWARD (1991) dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra.

Aktivitas :
Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak kampung Kalangan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada 1994, terjadi aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.
  • Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
  • Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker)
  • Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
  • Peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih sering disebut dengan  (kudatuli) menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah seorang dari belasan aktivis yang hilang.
  • April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
  • Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto, Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.

Wiji Thukul menjadi salah seorang korban politik Orde Baru. Hingga sekarang masih menjadi misteri, di mana Wiji Thukul berada.


Karya

Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
  • Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain diterbitkan Taman Budaya Surakarta.
  • Puisi: Bunga dan Tembok
  • Puisi: Peringatan
  • Puisi: Kesaksian
Karya-karya Wiji Thukul dapat dibaca dalam sebuah buku yang diberi judul Aku Ingin Jadi Peluru (2000), Penerbit Indonesia Tera, Magelang. Penerbit ini sangat berjasa dalam menghimpun karya-karya Thukul yang semula tersebar di berbagai manuskrip dan terbitan. Dari Taman Budaya Surakarta, diperoleh dua buah manuskrip, yakni “Darman dan Lain-lain”, dan “Puisi Pelo”. Kumpulan terakhir “Baju Loak Sobek Pundaknya” diperoleh dari Jaap Erkelens (Perwakilan KITLV di Indonesia). Sisanya diperoleh dari Mbak Sipon, istrinya.

Aku Ingin Jadi Peluru berisi 136 puisi yang dibagi atas lima kumpulan puisi.
1: Lingkungan Kita Si Mulut Besar
2: Ketika Rakyat Pergi
3: Darman dan Lain-lain
4: Puisi Pelo berisi
5: Baju Loak Sobek Pundaknya
Buku 5 merupakan kumpulan sajak-sajak yang ditulisnya ketika dalam masa pelariannya diburu aparat rezim Orba.

Prestasi & Penghargaan :
  • 1989, ia diundang membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.
  • 1991, ia tampil ngamen puisi pada Pasar Malam Puisi (Erasmus Huis; Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta).
  • 1991, ia memperoleh Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting, Belanda, bersama WS Rendra.
  • 2002, dianugerahi penghargaan "Yap Thiam Hien Award 2002"
  • 2002, sebuah film dokumenter tentang Widji Thukul dibuat oleh Tinuk Yampolsky.

Wiji Thukul adalah sebutir peluru meski revolusi belum bisa dipesan di masa hidupnya. Dia adalah setitik Splendor Veritatis atau Cahaya Kebenaran yang mampu memberikan ide perlawanan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan cara-cara dan sistem yang memanusiakan manusia. Bagi dia, hanya ada satu kata,"lawan!" seperti dalam salah satu puisinya "Peringatan" yang paling sering dibacakan oleh para demonstran di tanah air.

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

0 comments:

Bookmark and Share