Bookmark and Share

27 Mei 2010

Di Zawiyyah Sebuah Masjid

  • Share
  • [i]

Sesudah shalat malam bersama, beberapa santri yang besok pagi diperkenankan pulang kembali ke tengah masyarakatnya, dikumpulkan oleh Pak Kiai di zawiyyah sebuah masjid.
Seperti biasanya, Pak Kiai bukannya hendak memberi bekal terakhir, melainkan menyodorkan pertanyaan-pertanyaan khusus, yang sebisa mungkin belum usah terdengar dulu oleh para santri lain yang masih belajar di pesantren.

Di tahap cahaya Islam yang manakah kehidupan dewasa ini?”
“Tak menentu, Kiai,” jawab santri itu, 
“Terkadang, atau bahkan amat sering, kami adalah Adam yang sembrono dan nekad makan buah khuldi. 
Di saat lain kami adalah Ayyub –tetapi– yang kalah oleh sakit berkepanjangan dan putus asa oleh perolehan yang amat sedikit. 
Sebagian kami memperoleh jabatan seperti Yusuf tapi tak kami sertakan keadilan dan kebijakannya; sebagian lain malah menjadi Yusuf yang dicampakkan ke dalam sumur tanpa ada yang mengambilnya. 
Ada juga golongan dari kami yang telah dengan gagahnya membawa kapak bagai Ibrahim, tapi sebelum tiba di gudang berhala, malah berbelok mengerjakan sawah-sawah Fir’aun atau membelah kayu-kayu untuk pembangunan istana diktator itu.”

Pak Kiai tersenyum, dan santri itu meneruskan, 
“Mungkin itu yang menyebabkan seringkali kami tersembelih bagai Ismail, tapi tak ada kambing yang menggantikan ketersembelihan kami.”

“Maka sebagian dari kami lari bagai Yunus: seekor ikan paus raksasa menelan kami, dan sampai hari ini kami masih belum selesai mendiskusikan dan menseminarkan bagaimana cara keluar dari perut ikan.”

Pak Kiai tertawa terkekeh-kekeh.
“Kami belajar pidato seperti Harun, sebab dewasa ini berlangsung apa yang disebut abad informasi. Tetapi isi pidato kami seharusnya diucapkan 15 abad yang lalu, padahal Musa-Musa kami hari ini tidaklah sanggup membelah samudera.”

“Anakku,” Pak Kiai menyela, “pernyataan-pernyataanmu penuh rasa sedih dan juga semacam rasa putus asa.”

“Insyaallah tidak, Kiai,” jawab sang santri, 
“Cara yang terbaik untuk menjadi kuat ialah menyadari kelemahan. 
Cara yang terbaik untuk bisa maju ialah memahami kemunduran. 
Sebodoh-bodoh kami, sebenarnya telah pula berupaya membuat tali berpeluru Dawud untuk menyiapkan diri melawan Jalut. 
Tongkat Musa kami pun telah perlahan-lahan kami rekayasa, agar kelak memiliki kemampuan untuk kami lemparkan ke halaman istana Fir’aun dan menelan semua ular-ular sihir yang melata-lata. 
Kami juga mulai berguru kepada Sulaiman si raja agung pemelihara ekosistem. 
Seperti Musa kami juga belajar berendah hati kepada ufuk ilmu Khidhir. Dan berzikir. 
Bagai Zakaria, kami memperpeka kehidupan kami agar memperoleh kelembutan yang karib dengan ilmu dan kekuatan Allah. 
Terkadang kami khilaf mengambil hanya salah satu watak Isa, yakni yang tampak sebagai kelembekan. 
Tetapi kami telah makin mengerti bagaimana berguru kepada keutuhan Muhammad, mengelola perimbangan unsur-unsur, terutama antara cinta dengan kebenaran. Sebab tanpa cinta, kebenaran menjadi kaku dan otoriter. 
Sedangkan tanpa kebenaran, cinta menjadi hanya kelemahan, keterseretan, terjebak dalam kekufuran yang samar, hanyut dan tidak berjuang.”

**Betapa tak terbatas apabila perbincangan itu diteruskan jika tujuannya adalah hendak menguak rahasia cahaya Islam.

“Sampai tahap ini,” kata Pak Kiai, “cukuplah itu bagi kalian,
“Fal-yatalaththaf!” ucap Pak Kiai akhirnya sambil berdiri dan menyalami santri-santrinya satu per satu.

Artikel Asli  : Di Zawiyyah Sebuah Masjid Oleh : Emha Ainun Nadjib, 

0 comments:

Bookmark and Share