Bookmark and Share

14 Januari 2010

Bola untuk anak

  • Share
  • [i]


Inikah nasib?

Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania
harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali
kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami
selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa dan salam
sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan
Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan
Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana, ingin hidup bahagia. Itu 25
tahun yang lalu.

22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elite, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku. Ya,
keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai
ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya
akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin
karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan
aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan
orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk
memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti,
mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,
melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai
kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil
namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot
halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah
terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas,
piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia
melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah,
Ma?"

18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku
agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan
bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi
jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.

"Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!" tapi aku tidak suka dia
menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak
aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga,
dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain
bola."

17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah
aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu
bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya.
Yang aku tahu, hari itu hari Sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari
sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang
dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa
khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa..." Sebuah truk pasir
telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku.
Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.
Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja
sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen.
Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak
belikan ia bola!"

15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke
rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak
mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa membelainya. Dan
bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan
rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu
Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar
untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan
tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu
hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan
uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di
SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan
sekolah. Aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan
dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku
yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku
mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah
untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya
sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi
bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. "Biar
cantik kalo kere ya ke laut aje." Mungkin itu kata-kata yang sering
kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis
juga.

"Sabar ya, Nak!" hiburku.

"Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku
menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam
dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan
aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu
tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena
sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui
pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin
bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu
pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke
Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP.
Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua,
tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan
rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan
pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu
lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar
Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana.
Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila
tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah
siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah
istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena
akhir-akhir ini dia sering diganggu.

Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya.
Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila
bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik
usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang
pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat
hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada
aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,
kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti
membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis,
aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula
kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk
menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus
anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa
memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus
menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain
menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan
seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih
baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku.

Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku
ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya
sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.
Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku
erat, seakan tak ingin melepaskan aku.

"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku
ingin menggantikannya.

"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"

"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya
dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia
mati. Iya tidak salah kan, Pak!"

Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang
begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar
anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah
berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak
mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman
pada wanita itu.

2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya.
Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi
aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana.
Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass" Kamilaku kini
tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah
anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku.
Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku,
dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang
kukenal.

"Kania?"

"Mas Har, kau . !"

"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"

"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.

"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."

"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang
tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania
dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku baru
sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,

Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu,
aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh
diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu
yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak, "Iya sayaaang,
apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah
hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya kita menikah.
Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya
sayang?


resonansi suara merdeka

0 comments:

Bookmark and Share