Bookmark and Share

23 Mei 2009

Tip & Trick merawat BAYI



Here are some simple instructions to make life easier for inexperienced parents. I suggest you print out the instructions, laminate them and post them around the house. Good luck!





Buat kalian yg "JUST MERRIED" nih gw nemuin tip & trik buat ngerawat bayi kalian nantinya...
so jangan lupa:
  • print & laminating artikel ini
  • pelajari baek-baek secara teliti & seksama
  • tempelkan di tempat yang mudah dilihat, buat panduan agar g' salah take care thd buah hati anda..
karena gw yakin kalian pasti membutuhkan tutorial merawat bayi ini... hehehe......
ada lagi artikel yang berkaitan tentang anak (kali ini serius) , silakan baca yang satu ini ya...!!

Dari Lingkungan anak belajar..!!



NB:


Cara Efektif Mencegah Flu Babi


Meski hanya iseng dan kelakar, jadikan ini sebagai pengingat agar kita tetap waspada terhadap aneka penyakit yang mengintai di sekitar kita. Berikut ini sebuah tips efektif mencegah flu babi yang akhir-akhir ini ditakuti banyak manusia di muka bumi.

Cara mencegah penularan flu babi:

  1. Jangan berjabat tangan dengan babi yang sedang flu (selain akan tertular flu oleh babi, anda juga akan dianggap orang gila)
  2. Jangan berciuman dengan babi yang sedang flu (apalagi yang ini, anda ga mau kan diliat orang sedang berciuman dengan babi)
  3. Cucilah tangan setelah anda bergulat dengan babi di kandang babi
  4. Jangan suka mengucapkan kata babi ke pada orang lain (babi lu……)
  5. Jangan tidur sebelah babi
  6. Jangan menerima babi sebagai teman Anda di facebook karena dia dapat mengharvest teman2 Anda di facebook
  7. Jikapun Anda memang memelihara babi, sediakan selalu sapu tangan/tissue untuk babi-babi Anda menutup hidung dan mulutnya bila bersin.
  8. Hindarilah berenang di kolam renang babi, setidaknya untuk saat ini.
  9. Jangan memforward email ini ke babi-babi, dikhawatirkan mereka jadi tau sehingga mencari cara penularan lain
  10. Hindari memakai segala asesori babi (kaos gambar babi, anting2 babi, kalung babi, ikat pinggang sabuk babi, dll), babi-babi yang sedang flu itu mungkin akan mengira Anda adalah simpatisan babi, sehingga kemungkinan mereka akan menyerbu Anda untuk meminta perlindungan karena saat ini banyak yang memburu mereka untuk membunuhnya.
  11. Salah satu yang juga penting adalah agar para babi ngepet untuk segera menyadarkan diri dan kembali ke jalan yang benar sebelum mereka menciptakan varian baru virus tersebut; flu babi ngepet.

be smiling pls…..





Sumber : http://bayex.wordpress.com/2009/05/23/cara-efektif-mencegah-flu-babi/

10 Mei 2009

Tips Membuat Surat Lamaran Pekerjaan (konyol version)

surat

 

Sudah ribuan kali ngirim surat lamaran kerja tapi belum ada balasan?

Mungkin salah satu tips dibawah ini adalah masalahnya..!!

 

 

 1. JANGAN TERLALU BANYAK MENGGUNAKAN SINGKATAN

Dgn Hrmt.

ttrk dgn ikl lwg krj yg dmt pd srt kbr edisi sls , sy brmskd mengisi lwg yg bpk bthkn, rdri thn 1999 - 2004 , sy tlh bkj di aptk km farma , di bag cln srv. dri thn 2004-2005 , sy bkj di LC bank sbg kabag keu. dri thn 2005- smp skrg jd tkg pkr di BIp

2. JANGAN TERLALU BANYAK LAMPIRAN

Sebagai bahan pertimbangan bapak, bersama ini saya sertakan :

a. foto copy KTP bapak saya

b. pas foto saya waktu disunat

c. surat kelakuan baik seluruh keluarga saya

d. bon hutang selama 1 tahun

e. proposal permintaan sumbangan pembangunan mesjid di Rt saya

 

3. BAHASANYA SOK GAUL

Dgn hromat banget , boss!!!!

halo boss , capee deeehhh!!!! apa kabar nich.....? baik baik aja dong , iya kan iya dong , bener kan bener dong....? saya mo ngelamar kerja nich..boleh dong...please...boleh ya...?

 

4. BAHASANYA SOK PREMAN

Gue pernah kerja di kantor bokap, tapi lantaran gue sering bolos sama sering ngegodain skertaris kantor, gue dikeluarin, setan banget deehhh!!!!. Makanya sekarang gue ngelamar kerja di kantor elo , ga usah khawatir soal jabatan deh.....gue sih yg penting dibayar gede sama elo. ok deh!! gue tunggu panggilan kerja dari elo di rumah gue , kalo sampe tiga hari belom juga ada panggilan , elo bakal tau sendiri akibatnya....!!!!!!!

 

5. BAHASANYA SOK AKRAB

Dengan hormat,

Hai apa kabar nih...? baik baik aja kan...?

saya juga ketika menulis surat ini dalam keadaan sehat wal afiat, semoga kamu juga baik baik aja seperti saya disini. ngomong ngomong gimana kabar anak anak , sehat kan..? istri pasti makin cantik aja.....salam aja ya buat mereka. oya ..hampir lupa, saya bermaksud melamar pekerjaan pada perusahaan kamu bisa kan,.,,..?

 

6. TERLALU RESMI DAN BERTELE TELE

Dengan hormat,

Setelah saya membaca iklan lowongan pekerjaan di surat kabar ternama di ibukota , saya sangat tertarik dengan iklan yang anda muat disitu. oleh karena itu saya bermaksud untuk melamar pekerjaan tersebut dan juga sekalian harapan saya , dengan surat lamaran ini kita bisa mempererat tali silaturahmi antara kita berdua , bukankah dalam agama pun telah diterangkan betapa pentingnya arti sebuah silaturahmi...

 

Semoga Tips singkat ini bisa membantu anda dalam membuat lamaran agar lebih baik lagi... diterima (disisi-NYA) hahahaha……!!!!

 

Sumber :

http://bayex.wordpress.com/2009/05/10/tips-membuat-surat-lamaran-pekerjaan-konyol-version/

09 Mei 2009

Kumpulan Puisi ToTo ST Radik


Toto ST Radik lahir di desa Singarajan, Pontang, Serang,  Banten, 30 Juni 1965. 
Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media massa dan telah terbit dalam sejumlah buku, baik karya tunggal, antologi bersama, maupun sebagai editor. 
Buku puisi tunggal yang sudah terbit di antaranya adalah 
Mencari dan Kehilangan (1996), 
Indonesia Setengah Tiang (1999), 
Jus Tomat Rasa Pedas (2003), 
Pangeran [Lelaki yang Tak menginginkan Sorga] (2005), 
Kepada Para Pangeran (2013), dan 
Lidah Politikus (2017). 
Bergiat di SanggarSastraSerang (s3) dan Majelis Puisi Rumah Dunia. 
Saat ini menetap di Penancangan, Kota Serang, Banten. ***



Dikutip dari Novel "Balada Si Roy" karya Gola Gong

Selembar Daun Jatuh

Selembar daun jatuh terguling ke jalanan
Selembar daun jatuh terkulai sendirian
Selembar daun jatuh terisak kesepian
Selembar daun jatuh terempas dari kehidupan.


CATATAN HARIAN SEORANG PENYAIR

Oleh : Toto ST Radik 

di negeriku lelaki tak patut menitikkan
air mata
hanya perempuan boleh bersedih
dan menangis
lelaki adalah serdadu: baja yang ditempa
di atas api
keras dan padat dan kejam menggenggam hidup
tak ada sepetak ruang dan sejenak waktu
untuk bertanya
tentang sesuatu yang sederhana
segalanya telah selesai
dalam kitab kalah atau menang
di negeriku lelaki tak patut menitikkan
air mata: aku pun pergi
ke negeri puisi
di mana kegembiraan dan kesedihan
keraguan dan cinta
tak ditampik atau menampik
----Serang, 1998
Republika Online edisi:07 Nov 1999 

Seperti Ikan

Seperti ikan
Kau lepas aku ke dalam akuarium
berenang di antara rumputan
meliuk di sela-sela karang
Tuhan
kulihat Kau
berdiri memandangi aku
tapi kaca ini, kaca ini...!


Menggeliatlah! Menarilah!

Menggeliatlah! Menarilah!
Sampai basah tubuh oleh peluh
biar saja senjakala jatuh
dan malam menyergap kelam
tak perlu menyumpah menyerapah
atau termangu atau tersedu pilu

Menggeliatlah! Menarilah!
Seperti burung malam yang tak lelah
menyeru bulan, tak lelah-lelah!


Lalu Setelah ini Apa?

Lalu setelah ini apa?
Berulang kali aku bertanya
Sambil menyeret beribu impian
Kutahu tiada yang 'kan menyahut
Di bumi asing yang kian keriput
: Cuma deru angin, cuma deru angin.


Sinar Bulan Menyuram Perlahan
(Bersama Rys Revolta)

Sinar bulan menyuram perlahan
angin sembunyi di lembah sunyi
serangga pun berhenti melagu puisi
saat gulita melulur mata
jadi punah segala warna
tinggal gelisah berputar berpusar
menerkam wajah tanpa darah.

Hujan Berkeliaran

Hujan berkeliaran 
Di langit tak terbatas pandang
Kemudian dicurahkan ke bumi gersang
Menyiram benih tumbuh jadi padi menguning
Pohonan pun merindang
Ikan-ikan berenangan
Dan hujan terus berkeliaran
Di langit tak batas pandang.


Melagu Panjang Tembang Petualang

Melagu panjang tembang petualang
Peristiwa nyeri jangan jadikan beban
Sebab daun-daun yang mengering
Terguling ke bumi
Tak pernah merasa sunyi dan sia-sia.



Getaran Kecapi Jiwa

Getaran kecapi jiwa
melagu panjang tembang petualang
peristiwa nyeri jangan jadikan beban
sebab daun-daun yang mengering
terguling ke bumi
tak pernah merasa sunyi dan sia-sia!

Bulan Separuh

Bulan separuh
sunyi mencumbu waktu
kereta api menguik memecah lamunan
sendirian aku menatap gelap
dari balik jendela kaca kusam
bulan sepenuhnya terusir dari langit
di benak masih tersisa pertanyaan lain
: di manakah rumahku?

Di Pantai Aku Bertemu Ombak

Di pantai aku bertemu ombak
ia mengajakku bermain
aku dan ombak bernyanyi-nyanyi
sambil membuat labirin
dari pasir dan pecahan karang
lalu main petak-umpet di dalamnya

Tiba-tiba saja ombak menghilang
dan aku tak tahu jalan pulang
O, ombak menyanyilah merdu
agar jalan dapat ketemu.


Mengapa Penderitaan Kau Pinang

Mengapa penderitaan kau pinang
Padahal kesenangan
dapat kau raih dengan gampang
Ah, mengapa masih saja bertanya tentang itu
Biarkan, biarkan aku menempuh jejak di rimba
Biarkan, biarkan aku mereguk kisah-kisah
Jangan suruh aku berhenti
dengan tangis atau senyummu
sebab aku tak akan peduli!

Berdenyut di Nadi Peristiwa

Berdenyut di nadi peristiwa
Kuseru debu menjadi batu
Kuseru cinta menjadi luka
Tikam! Tikam! O, tikamlah aku!
Bikin aku mabuk dan sempoyongan
Terkapar di tikungan jalan
Sehabis capai meneriakkan puisi
: Beribu kata menyesak di dada.

Bulan Mengintip Lewat Jendela

Bulan mengintip lewat jendela
ketika ia terbaring resah dalam kamarnya
sepi menyelinap! Bersarang di dada
ia terbaring resah dalam kamarnya
sepi mengoyak-moyak mimpinya
dan yang dinanti belum juga tiba.

Mengarungi Samudera Waktu Tak Bertepi

Mengarungi samudera waktu tak bertepi
Gelisah aku dalam perahu nasib
Gelap dan rahasia, tak terselami
Aku tak tahu mengapa sampai di sini
Terlunta sendirian menyiulkan tembang
O, alangkah rawannya hidup lelaki
Begitu jauh mencari tempat berpijak.

O, Mawar ...

O, mawar yang kutanam setahun lalu
telah tumbuh dan bermekarankah di hatimu?
Begitu lama aku pergi, jauh dari kamu
melayang bagai kapas di antara debu-debu
larut dalam permainan abadi sang waktu
Kini aku berdiri depan pintu pagar rumahmu
kulihat kamu menunggu di bangku taman itu
dari sela dedaunan cahaya bulan jatuh di wajahmu.


Seperti Matahari Kehilangan Bumi

Seperti matahari kehilangan bumi
aku beredar menjalani hari-hari
mengapa mesti sia-sia begini
kutemukan wajahku letih dan sunyi
di antara kenyataan dan mimpi-mimpi
tapi mestikah berhenti?

Jiwa Kita ...

Jiwa kita tak dapat ditapakkan di satu tempat
karena jiwa kita tercipta dari kisah-kisah,
lamunan, igauan, mimpi, lumut, batu, rawa,
laut, pasir, karang, awan, gunung, belantara,
matahari, bulan... dan wajah kita sendiri
biarkan jiwa kita mengelana di setiap langkah!

Tujuh Belas Lilin Warna-warni

Tujuh belas lilin warna-warni
menyala bergoyang-goyang
kenangan masa kecil membayang di matamu
dan aku pun termangu mencari masa lalu
yang terlupa ditelan pengembaraan panjang:
O, betapa asingnya! Betapa asingnya!


Gadis Manis

Gadis manis
jangan biarkan sunyi mengiris-irisku lagi
telah cukup perjalanan lelahku
menempuh beratus putaran jarum jam
melewati duri sangsi dan nyeri hari-hari
kirimkan ombakmu senantiasa
agar bertemu kita
lumat di muara.


Kudengar Keluh Daun Kering

Kudengar keluh daun kering
di ujung ranting
Kudengar tangis burung tua
kehilangan bulu-bulu sayapnya
berhadapan dengan sang waktu
segala jadi tak berdaya
maka aku pun terus mengembara
sebelum sang waktu menghunus pisaunya.

Berjalan Menempuh Ilalang

Berjalan menempuh ilalang
yang tak henti menghadang
kawan seperjalanan cuma gelisah
mengatasi sepi
hidup pun seolah nyanyian panjang
merjan ketidakpastian:
mimpi buruk yang selalu berulang!

Belum Juga Kupahami

Belum juga kupahami
di sini waktu terus berlari
atau justru berhenti
barangkali memang mesti begitu
tapi mengapa semua seperti tak peduli
bersikejaran dengan entah apa entah siapa
memaknai perjalanan
gelisahku menjelma duri nyeri!


Akulah si Pengembara

Kudengar gemuruh ombak lautan
nyanyian daun-daun dan serangga malam
angin mendesau membisikkan sesuatu
dari bau tanah pegunungan memanggiliku
maka kutinggalkan rumah dan ranjang mimpi
pergi mengembara ke belantara sunyi
menggendong ransel sarat beban
: o, apa sebenarnya yang kau buru?
lakon apa yang ingin kau mainkan?

Ya, akulah si pengembara
terus bergerak ke cakrawala
walau beribu kali tersungkur kenyataan
jiwaku menolak kebuntuan jalan

Ya, akulah si pengembara!

--------------------------


Bermain di Pantai ...

Bermain di pantai, ombak menerkamku
dan laut menenggelamkan sampai dasar
Di antara ikan, ular, karang sunyi
kuliuki hari-hariku tanpa cuaca
Lihatlah, tubuh dan jiwaku garam
sia-sia menjangkau matahari. Sia-sia!

Kotak-kotak Teka-teki

Kotak-kotak teka-teki
masih kosong tak berisi
berulang kali aku menyeru
yang datang terus debu
O, cinta yang dilanda kemarau
adalah luka dalam mimpi kemilau
: sempurnalah kesunyianku!



Dan Sungai yang Mengalir ...

Dan sungai yang mengalir ke samudera
dan ombak yang menjemput di muara
ialah cinta yang tak pernah alpa
ketulusan tak putus ditikam musim
jarak mengobarkan rindu dalam rahim
bagai unggun api yang terus menyala
angin pun tak kuasa memadamkannya!


Orang-orang Bergumam ...

Orang-orang bergumam di sepanjang jalan
merindukan hujan. Tapi lihatlah
seribu matahari bermunculan tiba-tiba
ini dunia mesti dimaki?
Ah, siapakah kirimkan wangi kembang?
Pergi dan melenyaplah!
Telah kulepaskan segala tentangmu
dan cinta cuma dongeng kanak-kanak.


Pagi...

Pagi. Embun terakhir melayang jauh
pecah dan lesap di tanah berdebu
tanpa jejak!
Dan matahari terus berlari.
Malam. Sunyi merajai hatiku kembali
kelam dan kekal di langkah gundah
tak berkesudahan.



Dan Jemariku Gemetar

Dan jemariku gemetar
detik demi detik ditikam
sangsi, ditikam keentahan
kaki terantuk di batu-batu
nadi luka tersiram air garam
inikah kemustian hidup
ah, aku tak bisa mengelak.


----------------------------------

Hari ini Tidak Ada Puisi

Hari ini tidak ada puisi
udara penuh tuba. Tipu-muslihat
dan lolong mayat-mayat.

Serang, 1998

Partai Jujur

Jangan pilih partai kami
Sebab kami sesungguhnya penipu
Janji kami ialah kursi kami, fulus kami
Sedangkan nasibmu urusanmu.

Serang, 2002

Doa Penguasa


(Doa Penguasa 1)

Ya, Tuhan Yang Maha Kuasa
Aku memujamu, aku memujamu
Karena aku ingin berkuasa selamanya.


(Doa Penguasa 2)

Ya, Tuhan Yang Maha Kaya
Lindungilah kursiku, jabatanku, hartaku
Karena aku tak sanggup jadi rakyat biasa.

Serang, 2002

Mimpi

Semalam aku mimpi
di Ciceri ramai sekali
orang-orang jual beli kursi
seraya menjilati pantat sendiri.

Serang, 2002


Jika Maka

Jika tuan punya golok
maka hamba punya olok-olok - maka hamba punya canda
Jika tuan punya kursi
maka hamba punya puisi.

Serang, 2002

Pat Pat Gulipat

Hidup ini pat pat gulipat
Tambah jimat dapat berlipat
Mumpung masih jadi pejabat
Buat apa ngurus rakyat.

Serang, 2002

Pidato Politik

Saudara-saudaraku,
Tingkatkan iman dan takwamu
Tingkatkan fulus depositoku.

Serang, 2002

Ayat Kursi

Kursi kursi kursi
Kutahu yang kucari
Kursi kursi kursi
Tiada Tuhan selain kursi.

Serang, 2002

Kumpulan Puisi Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji_Calzoum_Bachri_
  • ANA BUNGA
  • AYO
  • BATU
  • BAYANGKAN
  • GAJAH DAN SEMUT
  • JEMBATAN
  • KUCING
  • LA NOCHE DE LAS PALABRAS
    (EL DIARIO DE MEDELLIN)
  • LUKA
  • MANTERA
  • NGIAU
  • O
  • PARA PEMINUM
  • SEPISAUPI
  • TANAH AIR MATA
  • TAPI
  • TRAGEDI WINKA & SIHKA
  • WALAU 
  • SATU 
  • AMUK
  • IDUL FITRI
  • KUCING
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

ANA BUNGA
Terjemahan bebas (Adaptasi) dari puisi Kurt Schwittters, Anne Blumme
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?
Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?
Sayembara :
                Ana Bunga buahku
                Merah Ana Bunga
                Warna apa aku?
Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau  yang milikau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita ?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusapusap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!
1999
Catatan: Terjemahan Anna Blume dikerjakan untuk panitia peringatan Kurt Schwitters, Niedersachen, Jerman.

OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999


AYO
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
                          malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
             dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republika edisi : 28 November 1999


BATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        batu mawar
        batu langit
        batu duka
        batu rindu
        batu janun
        batu bisu
        kaukah itu
                        teka
                                teki
        yang
        tak menepati janji ?
    Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
    hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
    seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
    Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
    diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
    sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
        batu risau
        batu pukau
        batu Kau-ku
        batu sepi
        batu ngilu
        batu bisu
        kaukah itu
                                teka
                        teki
                        yang
        tak menepati
                        janji ?
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


BAYANGKAN
untuk Salim Said
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

direguknya
         wiski
            direguk
               direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
           di halaman
                 anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
   direguk
       direguknya wiski
            sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
1977
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


GAJAH DAN SEMUT
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


JEMBATAN
Oleh  :
Sutardji Calzoum Bachri

    Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
    bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
    dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
    Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
    jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
    Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
    para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
    Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
    indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
    mengucap
    tanah air kita satu
    bangsa kita satu
    bahasa kita satu
    bendera kita satu !
    Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
    mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
    tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
    yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
    di antara kita ?
    Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
    linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
    dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
    mengucapkan kibarnnya.
    Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

KUCING
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

            ngiau!  Kucing dalam  darah dia menderas
            lewat  dia  mengalir  ngilu  ngiau  dia  ber
            gegas  lewat dalam aortaku dalam rimba
            darahku dia  besar dia bukan harimau bu
            kan singa bukan  hiena  bukan leopar  dia
            macam kucing bukan kucing  tapi   kucing
            ngiau dia lapar dia  merambah  rimba  af
            rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
            dia meraung  dia mengerang jangan beri
            daging dia tak  mau daging Jesus jangan
            beri  roti  dia  tak   mau   roti   ngiau   ku
            cing   meronta  dalam  darahku  meraung
            merambah  barah  darahku  dia lapar 0 a
            langkah  lapar   ngiau   berapa  juta  hari
            dia  tak  makan  berapa  ribu  waktu  dia
            tak  kenyang  berapa juta lapar lapar ku
            cingku  berapa  abad  dia mencari menca
            kar  menunggu  tuhan mencipta kucingku
            tanpa mauku dan sekarang  dia  meraung
            mencariMu  dia   lapar   jangan   beri  da
            ging   jangan   beri  nasi  tuhan  mencipta
            nya  tanpa  setahuku  dan  kini  dia  minta
            tuhan  sejemput  saja  untuk tenang seha
            ri  untuk  kenyang  sewaktu untuk tenang
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


LA NOCHE DE LAS PALABRAS
(EL DIARIO DE MEDELLIN)

Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Di cafe jalanan Noventa Y Sieta, Medellin, Columbia
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadisgadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
-palabras palabras palabras palabras
-
--kata kata kata kata --
semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
sampai kami bisa buat
sesuka kami atas padat cahaya
lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
sampailah kami pada kerajaan kata-kata
jika kami membilang ayah
ia juga ayah kata-kata
jika kami menyebut hari
juga harinya kata-kata
jika kami mengucap diri
pastilah juga diri kata kata
Di cafe jalanan Medellin
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata
Medellin, Colombia 1997
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999


LUKA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

ha ha
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


MANTERA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

                    lima percik mawar
                    tujuh sayap merpati
                    sesayat langit perih
                    dicabik puncak gunung
                    sebelas duri sepi
                    dalam dupa rupa
                    tiga menyan luka
                    mengasapi duka
                    puah!
                    kau jadi Kau!
                    Kasihku
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


NGIAU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa
panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal
Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara
aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan
menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang
mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana
makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang
mana surga.
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


O
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


PARA PEMINUM
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


SEPISAUPI
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
1973
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
Mailing List MSI Penyair
Pengirim Nanang Suryadi


TANAH AIR MATA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

                Tanah airmata tanah tumpah dukaku
                mata air airmata kami
                airmata tanah air kami
                di sinilah kami berdiri
                menyanyikan airmata kami
                di balik gembur subur tanahmu
                kami simpan perih kami
                di balik etalase megah gedung-gedungmu
                kami coba sembunyikan derita kami
                kami coba simpan nestapa
                kami coba kuburkan duka lara
                tapi perih tak bisa sembunyi
                ia merebak kemana-mana
                bumi memang tak sebatas pandang
                dan udara luas menunggu
                namun kalian takkan bisa menyingkir
                ke manapun melangkah
                kalian pijak airmata kami
                ke manapun terbang
                kalian kan hinggap di air mata kami
                ke manapun berlayar
                kalian arungi airmata kami
                kalian sudah terkepung
                takkan bisa mengelak
                takkan bisa ke mana pergi
                menyerahlah pada kedalaman air mata
                (1991)
                Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

TAPI
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        aku bawakan bunga padamu
                                                        tapi kau bilang masih
        aku bawakan resahku padamu
                                                        tapi kau bilang hanya
        aku bawakan darahku padamu
                                                        tapi kau bilang cuma
        aku bawakan mimpiku padamu
                                                        tapi kau bilang meski
        aku bawakan dukaku padamu
                                                        tapi kau bilang tapi
        aku bawakan mayatku padamu
                                                        tapi kau bilang hampir
        aku bawakan arwahku padamu
                                                        tapi kau bilang kalau
        tanpa apa aku datang padamu
                                                        wah !
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


  TRAGEDI WINKA & SIHKA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

             kawin
                     kawin
                              kawin
                                      kawin
                                                    kawin
                                              ka
                                          win
                                       ka
                                  win
                              ka
                          win
                      ka
                win
            ka
                winka
                        winka
                                winka
                                        sihka
                                                sihka
                                                        sihka
                                                                sih
                                                            ka
                                                        sih
                                                    ka
                                                sih
                                            ka
                                        sih
                                    ka
                                sih
                            ka
                                sih
                                    sih
                                        sih
                                            sih
                                                sih
                                                    sih
                                                        ka
                                                            Ku
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten


WALAU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri

        Walau penyair besar
        takkan sampai sebatas allah
        dulu pernah kuminta tuhan
        dalam diri
        sekarang tak
        kalau mati
        mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
        tujuh puncak membilang-bilang
        nyeri hari mengucap-ucap
        di butir pasir kutulis rindu rindu
        walau huruf habislah sudah
        alif bataku belum sebatas allah
        Memahami Puisi, 1995
        Mursal Esten 


SATU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri


kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Pil
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri


Memang pil seperti pil macam pil walau pil
Hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
Meski pil tapi tak pil apalah pil
Pil pil pil mengapa gigil ?
Aku demam pil bilang
Obat jadi barah
Apakah pasien ?
Tempeleng !


AMUK
karya: Sutardji C. Bachri

.... aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata memanggilMu

pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh...!
nama kalian bebas carilah tuhan semaumu


Idul Fitri

Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana




KUCING

ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
kan singa bukan hiena bukan leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau ku
cing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar ku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang






Wahai pemuda mana telurmu?

Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas

Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga

Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan

Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir

Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas

Menetas kau
Dalam sumpah mereka

SCB,
7 Agustus 2010








Baca Juga :
Kumpulan Puisi

Biografi Penyair

Kumpulan Puisi Rendra

Rendra
  • AKU TULIS PAMPLET INI
  • DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
  • GERILYA
  • GUGUR
  • HAI, KAMU !
  • LAGU SEORANG GERILYA
  • LAGU SERDADU
  • MAZMUR MAWAR
  • NOTA BENE : AKU KANGEN
  • ORANG-ORANG MISKIN
  • PAMPLET CINTA
  • SAJAK ANAK MUDA
  • SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
  • SAJAK BULAN PURNAMA
  • SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR
  • SAJAK GADIS DAN MAJIKAN
  • SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI
  • SAJAK KENALAN LAMAMU
  • SAJAK MATA-MATA
  • SAJAK MATAHARI
  • SAJAK ORANG KEPANASAN
  • SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU
  • SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA
  • SAJAK POTRET KELUARGA
  • SAJAK PULAU BALI
  • SAJAK S L A
  • SAJAK SEBATANG LISONG
  • SAJAK SEBOTOL BIR
  • SAJAK SEONGGOK JAGUNG
  • SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON
  • SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API
  • SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA
  • SAJAK TANGAN
  • SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING
  • TAHANAN
  • Rumpun Alang-alang
  • Surat Cinta
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
AKU TULIS PAMPLET INI
Oleh :
W.S. Rendra

        Aku tulis pamplet ini
        karena lembaga pendapat umum
        ditutupi jaring labah-labah
        Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
        dan ungkapan diri ditekan
        menjadi peng - iya - an
        Apa yang terpegang hari ini
        bisa luput besok pagi
        Ketidakpastian merajalela.
        Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
        menjadi marabahaya
        menjadi isi kebon binatang
        Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
        maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
        Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
        Tidak mengandung perdebatan
        Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
        Aku tulis pamplet ini
        karena pamplet bukan tabu bagi penyair
        Aku inginkan merpati pos.
        Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
        Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
        Aku tidak melihat alasan
        kenapa harus diam tertekan dan termangu.
        Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
        Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
        Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
        Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
        Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
        Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
        Rembulan memberi mimpi pada dendam.
        Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
              yang teronggok bagai  sampah
              Kegamangan. Kecurigaan.
              Ketakutan.
              Kelesuan.
        Aku tulis pamplet ini
        karena kawan dan lawan adalah saudara
        Di dalam alam masih ada cahaya.
        Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
        Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
        Dan di dalam air lumpur kehidupan,
        aku melihat bagai terkaca :
        ternyata kita, toh, manusia !
        Pejambon Jakarta 27 April 1978
        Potret Pembangunan dalam Puisi

DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Oleh :
W.S. Rendra

                        Tuhanku,
                        WajahMu membayang di kota terbakar
                        dan firmanMu terguris di atas ribuan
                        kuburan yang dangkal
                        Anak menangis kehilangan bapa
                        Tanah sepi kehilangan lelakinya
                        Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
                        tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
                        Apabila malam turun nanti
                        sempurnalah sudah warna dosa
                        dan mesiu kembali lagi bicara
                        Waktu itu, Tuhanku,
                        perkenankan aku membunuh
                        perkenankan aku menusukkan sangkurku
                        Malam dan wajahku
                        adalah satu warna
                        Dosa dan nafasku
                        adalah satu udara.
                        Tak ada lagi pilihan
                        kecuali menyadari
                        -biarpun bersama penyesalan-
                        Apa yang bisa diucapkan
                        oleh bibirku yang terjajah ?
                        Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
                        mendekap bumi yang mengkhianatiMu
                        Tuhanku
                        Erat-erat kugenggam senapanku
                        Perkenankan aku membunuh
                        Perkenankan aku menusukkan sangkurku
                                                      Mimbar Indonesia
                                                      Th. XIV, No. 25
                                                      18 Juni 1960

GERILYA
Oleh :
W.S. Rendra

                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling di jalan
                        Angin tergantung
                        terkecap pahitnya tembakau
                        bendungan keluh dan bencana
                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling dijalan
                        Dengan tujuh lubang pelor
                        diketuk gerbang langit
                        dan menyala mentari muda
                        melepas kesumatnya
                        Gadis berjalan di subuh merah
                        dengan sayur-mayur di punggung
                        melihatnya pertama
                        Ia beri jeritan manis
                        dan duka daun wortel
                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling dijalan
                        Orang-orang kampung mengenalnya
                        anak janda berambut ombak
                        ditimba air bergantang-gantang
                        disiram atas tubuhnya
                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling dijalan
                        Lewat gardu Belanda dengan berani
                        berlindung warna malam
                        sendiri masuk kota
                        ingin ikut ngubur ibunya
                                                Siasat
                                                Th IX, No. 42
                                                1955

GUGUR
Oleh :
W.S. Rendra

                  Ia merangkak
                  di atas bumi yang dicintainya
                  Tiada kuasa lagi menegak
                  Telah ia lepaskan dengan gemilang
                  pelor terakhir dari bedilnya
                  Ke dada musuh yang merebut kotanya
                  Ia merangkak
                  di atas bumi yang dicintainya
                  Ia sudah tua
                  luka-luka di badannya
                  Bagai harimau tua
                  susah payah maut menjeratnya
                  Matanya bagai saga
                  menatap musuh pergi dari kotanya
                  Sesudah pertempuran yang gemilang itu
                  lima pemuda mengangkatnya
                  di antaranya anaknya
                  Ia menolak
                  dan tetap merangkak
                  menuju kota kesayangannya
                  Ia merangkak
                  di atas bumi yang dicintainya
                  Belumlagi selusin tindak
                  mautpun menghadangnya.
                  Ketika anaknya memegang tangannya
                  ia berkata :
                  " Yang berasal dari tanah
                  kembali rebah pada tanah.
                  Dan aku pun berasal dari tanah
                  tanah Ambarawa yang kucinta
                  Kita bukanlah anak jadah
                  Kerna kita punya bumi kecintaan.
                  Bumi yang menyusui kita
                  dengan mata airnya.
                  Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
                  Bumi kita adalah kehormatan.
                  Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
                  Ia adalah bumi nenek moyang.
                  Ia adalah bumi waris yang sekarang.
                  Ia adalah bumi waris yang akan datang."
                  Hari pun berangkat malam
                  Bumi berpeluh dan terbakar
                  Kerna api menyala di kota Ambarawa
                  Orang tua itu kembali berkata :
                  "Lihatlah, hari telah fajar !
                  Wahai bumi yang indah,
                  kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
                  Nanti sekali waktu
                  seorang cucuku
                  akan menacapkan bajak
                  di bumi tempatku berkubur
                  kemudian akan ditanamnya benih
                  dan tumbuh dengan subur
                  Maka ia pun berkata :
                  -Alangkah gemburnya tanah di sini!"
                  Hari pun lengkap malam
                  ketika menutup matanya

HAI, KAMU !
Oleh :
W.S. Rendra

            Luka-luka di dalam lembaga,
            intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
            noda di dalam pergaulan antar manusia,
            duduk di dalam kemacetan angan-angan.
            Aku berontak dengan memandang cakrawala.
            Jari-jari waktu menggamitku.
            Aku menyimak kepada arus kali.
            Lagu margasatwa agak mereda.
            Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
            Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.
            Jakarta, 29 Pebruari 1978
            Potret Pembangunan dalam Puisi

LAGU SEORANG GERILYA
(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra

        Engkau melayang jauh, kekasihku.
        Engkau mandi cahaya matahari.
        Aku di sini memandangmu,
        menyandang senapan, berbendera pusaka.
        Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
        engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
        Engkau menjadi suatu keindahan,
        sementara dari jauh
        resimen tank penindas terdengar menderu.
        Malam bermandi  cahaya matahari,
        kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
        Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
        engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu
        Peluruku habis
        dan darah muncrat dari dadaku.
        Maka  di saat seperti itu
        kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
        bersama kakek-kakekku yang telah gugur
        di dalam berjuang membela rakyat jelata
        Jakarta, 2 september 1977
        Potret Pembangunan dalam Puisi

LAGU SERDADU
Oleh :
W.S. Rendra

                  Kami masuk serdadu dan dapat senapang
                  ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
                  Yoho, darah kami campur arak!
                  Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak
                  Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
                  Wahai, tanah yang baik untuk mati
                  Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
                  cukilah ia bagi puteraku di rumah
                                                      Siasat
                                                      No.  630, th. 13
                                                      Nopember 1959


MAZMUR MAWAR
Kita muliakan Nama Tuhan
Kita muliakan dengan segenap mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi
Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu
Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.
Dikutip dari:
Sajak-sajak Sepatu Tua
Rendra
Pustaka Jaya

NOTA BENE : AKU KANGEN
Oleh :
W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
            Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
            Potret Pembangunan dalam Puisi

ORANG-ORANG MISKIN
Oleh :
W.S. Rendra

        Orang-orang miskin di jalan,
        yang tinggal di dalam selokan,
        yang kalah di dalam pergulatan,
        yang diledek oleh impian,
        janganlah mereka ditinggalkan.
        Angin membawa bau baju mereka.
        Rambut mereka melekat di bulan purnama.
        Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
        mengandung buah jalan raya.
        Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
        Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
        Tak bisa kamu abaikan.
        Bila kamu remehkan mereka,
        di jalan  kamu akan diburu bayangan.
        Tidurmu akan penuh igauan,
        dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
        Jangan kamu bilang negara ini kaya
        karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
        Jangan kamu bilang dirimu kaya
        bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
        Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
        Dan perlu diusulkan
        agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
        Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
        Orang-orang miskin di jalan
        masuk ke dalam tidur malammu.
        Perempuan-perempuan bunga raya
        menyuapi putra-putramu.
        Tangan-tangan kotor dari jalanan
        meraba-raba kaca jendelamu.
        Mereka tak bisa kamu biarkan.
        Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
        Mereka akan menjadi pertanyaan
        yang mencegat ideologimu.
        Gigi mereka yang kuning
        akan meringis di muka agamamu.
        Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
        akan hinggap di gorden presidenan
        dan buku programma gedung kesenian.
        Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
        bagai udara panas yang selalu ada,
        bagai gerimis yang selalu membayang.
        Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
        tertuju ke dada kita,
        atau ke dada mereka sendiri.
        O, kenangkanlah :
        orang-orang miskin
        juga berasal dari kemah Ibrahim
                    Yogya, 4 Pebruari 1978
                    Potret Pembangunan dalam Puisi


PAMPLET CINTA
Oleh :
W.S. Rendra

    Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
    Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
    Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.
    Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
    Aku merindukan wajahmu,
    dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
    Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
    Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
    Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
    Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan
    Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
    Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan
    Suatu malam aku mandi di lautan.
    Sepi menjdai kaca.
    Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.
    Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.
    Sepi menjadi kaca.
    Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
    bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?
    Udara penuh rasa curiga.
    Tegur sapa tanpa jaminan.
    Air lautan berkilat-kilat.
    Suara lautan adalah suara kesepian.
    Dan lalu muncul wajahmu.
    Kamu menjadi makna
    Makna menjadi harapan.
    ……. Sebenarnya apakah harapan ?
    Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
    Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
    Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
    Aku tertawa, Ma !
    Angin menyapu rambutku.
    Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
    Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
    Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
    Perutku sobek di jalan raya yang lengang…….
    Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
    Aku menulis sajak di bordes kereta api.
    Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
    Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
    aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
    Lalu muncullah kamu,
    nongol dari perut matahari bunting,
    jam duabelas seperempat siang.
    Aku terkesima.
    Aku disergap kejadian tak terduga.
    Rahmat turun bagai hujan
    membuatku segar,
    tapi juga menggigil bertanya-tanya.
    Aku jadi bego, Ma !
    Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
    Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
    dan sedih karena kita sering berpisah.
    Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
    Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?
    Bahagia karena  napas mengalir dan jantung berdetak.
    Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.
    Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
    Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
    memandang wajahmu dari segenap jurusan.
                Pejambon, Jakarta, 28 April 1978
                Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK ANAK MUDA
Oleh :
W.S. Rendra

        Kita adalah angkatan gagap
        yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
        Kita kurang pendidikan resmi
        di dalam hal keadilan,
        karena tidak diajarkan berpolitik,
        dan tidak diajar dasar ilmu hukum
        Kita melihat kabur pribadi orang,
        karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
        Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
        karena tidak diajar filsafat atau logika.
        Apakah kita tidak dimaksud
        untuk mengerti itu semua ?
        Apakah kita hanya dipersiapkan
        untuk menjadi alat saja ?
        inilah gambaran rata-rata
        pemuda tamatan SLA,
        pemuda menjelang dewasa.
        Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
        Bukan pertukaran pikiran.
        Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
        dan bukan ilmu latihan menguraikan.
        Dasar keadilan di dalam pergaulan,
        serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
        sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
        tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
        Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
        Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
        tidak bisa kita hubung-hubungkan.
        Kita marah pada diri sendiri
        Kita sebal terhadap masa depan.
        Lalu akhirnya,
        menikmati masa bodoh dan santai.
        Di dalam kegagapan,
        kita hanya bisa membeli dan memakai
        tanpa bisa mencipta.
        Kita tidak bisa memimpin,
        tetapi hanya bisa berkuasa,
        persis seperti bapak-bapak kita.
        Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
        Di sana anak-anak memang disiapkan
        Untuk menjadi alat dari industri.
        Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
        Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
        Kita hanya menjadi alat birokrasi !
        Dan birokrasi menjadi berlebihan
        tanpa kegunaan -
        menjadi benalu di dahan.
        Gelap. Pandanganku gelap.
        Pendidikan tidak memberi pencerahan.
        Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
        Gelap. Keluh kesahku gelap.
        Orang yang hidup di dalam pengangguran.
        Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
        Karena tidak bisa kita tafsirkan,
        lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
        Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
        Apakah ini ? Apakah ini ?
        Ah, di dalam kemabukan,
        wajah berdarah
        akan terlihat sebagai bulan.
        Mengapa harus kita terima hidup begini ?
        Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
        dianggap sebagai orang terpelajar,
        tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
        Dan bila ada ada tirani merajalela,
        ia diam tidak bicara,
        kerjanya cuma menyuntik saja.
        Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
        Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
        dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
        sementara hukum dikhianati berulang kali.
        Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
        dianggap bunga plastik,
        sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
        Kita berada di dalam pusaran tatawarna
        yang ajaib dan tidak terbaca.
        Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
        Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
        Dan bila luput,
        kita memukul dan mencakar
        ke arah udara
        Kita adalah angkatan gagap.
        Yang diperanakan  oleh angkatan kurangajar.
        Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
        Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
        Kita adalah angkatan yang berbahaya.
            Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977
            Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
OLEH :
W.S. RENDRA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
Catatan :
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR

SAJAK BULAN PURNAMA
Oleh :
W.S. Rendra

                Bulan terbit dari lautan.
                Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
                Dan menjelang malam,
                wajahnya yang bundar,
                menyinari gubug-gubug kaum gelandangan
                kota Jakarta.
                Langit sangat cerah.
                Para pencuri bermain gitar.
                dan kaum pelacur naik penghasilannya.
                Malam yang permai
                anugerah bagi sopir taksi.
                Pertanda nasib baik
                bagi tukang kopi di kaki lima.
                Bulan purnama duduk di sanggul babu.
                Dan cahayanya yang kemilau
                membuat tuannya gemetaran.
                “kemari, kamu !” kata tuannya
                “Tidak, tuan, aku takut nyonya !”
                Karena sudah penasaran,
                oleh cahaya rembulan,
                maka tuannya bertindak masuk dapur
                dan langsung menerkamnya
                Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
                Lalu naik ke ubun-ubun
                menjadi mimpi yang gemilang.
                Menjelang pukul dua,
                rembulan turun di jalan raya,
                dengan rok satin putih,
                dan parfum yang tajam baunya.
                Ia disambar petugas keamanan,
                lalu disuguhkan pada tamu negara
                yang haus akan hiburan.
                Yogya, 22 Oktober 1976
                Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR
Oleh :
W.S. Rendra

        Angin gunung turun merembes ke hutan,
        lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
        dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
        Kemudian hatinya pilu
        melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh
        yang terpacak di atas tanah gembur
        namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
        Para tani - buruh bekerja,
        berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
        menanam bibit di tanah yang subur,
        memanen hasil yang berlimpah dan makmur
        namun hidup mereka sendiri sengsara.
        Mereka memanen untuk tuan tanah
        yang mempunyai istana indah.
        Keringat mereka menjadi emas
        yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
        Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
        para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
        dan menjawab dengan mengirim kondom.
        Penderitaan mengalir
        dari parit-parit wajah rakyatku.
        Dari pagi sampai sore,
        rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
        menggapai-gapai,
        menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
        di dalam usaha tak menentu.
        Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
        dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
        dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
        Beribu-ribu burung kondor,
        berjuta-juta burung kondor,
        bergerak menuju ke gunung tinggi,
        dan disana mendapat hiburan dari sepi.
        Karena hanya sepi
        mampu menghisap dendam dan sakit hati.
        Burung-burung kondor menjerit.
        Di dalam marah menjerit,
        bergema di tempat-tempat yang sepi.
        Burung-burung kondor menjerit
        di batu-batu gunung menjerit
        bergema di tempat-tempat yang sepi
        Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
        mematuki batu-batu, mematuki udara,
        dan di kota orang-orang  bersiap menembaknya.
        Yogya, 1973
        Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK GADIS DAN MAJIKAN
Oleh :
W.S. Rendra

            Janganlah tuan seenaknya memelukku.
            Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.
            Aku  bukan ahli ilmu menduga,
            tetapi jelas sudah kutahu
            pelukan ini apa artinya…..
            Siallah pendidikan yang aku terima.
            Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,
            kerapian, dan tatacara,
            Tetapi lupa diajarkan :
            bila dipeluk majikan dari belakang,
            lalu sikapku bagaimana !
            Janganlah tuan seenaknya memelukku.
            Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
            Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
            Ketika tuan siku teteku,
            sudah kutahu apa artinya……
            Mereka ajarkan aku membenci dosa
            tetapi lupa mereka ajarkan
            bagaimana mencari kerja.
            Mereka ajarkan aku gaya hidup
            yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
            Diajarkan aku membutuhkan
            peralatan yang dihasilkan majikan,
            dan dikuasai para majikan.
            Alat-alat rias, mesin pendingin,
            vitamin sintetis, tonikum,
            segala macam soda, dan ijazah sekolah.
            Pendidikan membuatku terikat
            pada pasar mereka, pada modal mereka.
            Dan kini, setelah aku dewasa.
            Kemana lagi aku ‘kan lari,
            bila tidak ke dunia majikan ?
            Jangnlah tuan seenaknya memelukku.
            Aku bukan cendekiawan
            tetapi aku cukup tahu
            semua kerja di mejaku
            akan ke sana arahnya.
            Jangan tuan, jangan !
            Jangan seenaknya memelukku.
            Ah, Wah .
            Uang yang tuan selipkan ke behaku
            adalah ijazah pendidikanku
            Ah, Ya.
            Begitulah.
            Dengan yakin tuan memelukku.
            Perut tuan yang buncit
            menekan perutku.
            Mulut tuan yang buruk
            mencium mulutku.
            Sebagai suatu kewajaran
            semuanya tuan lakukan.
            Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
            Mereka pegang kedua kakiku.
            Mereka tarik pahaku mengangkang.
            Sementara tuan naik ke atas tubuhku.
            Yogya, 10 Juli 1975
            Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI
Oleh :
W.S. Rendra

            Dengan latar belakang gubug-gubug karton,
            aku terkenang akan wajahmu.
            Di atas debu kemiskinan,
            aku berdiri menghadapmu.
            Usaplah wajahku, Widuri.
            Mimpi remajaku gugur
            di atas padang pengangguran.
            Ciliwung keruh,
            wajah-wajah nelayan keruh,
            lalu muncullah rambutmu yang berkibaran
            Kemiskinan dan kelaparan,
            membangkitkan keangkuhanku.
            Wajah indah dan rambutmu
            menjadi pelangi di cakrawalaku.
            Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977
            Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK KENALAN LAMAMU
Oleh :
W.S. Rendra

    Kini kita saling berpandangan saudara.
    Ragu-ragu apa pula,
    kita memang pernah berjumpa.
    Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
    tergencet oleh penumpang berjubel,
    Dari Yogya ke Jakarta,
    aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
    dengan alas kertas koran,
    sambil memeluk satu anakmu,
    sementara istrimu meneteki bayinya,
    terbaring di sebelahmu.
    Pernah pula kita satu truk,
    duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
    sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
    dan lalu sama-sama kaget,
    ketika truk tiba-tiba terhenti
    kerna distop oleh polisi,
    yang menarik pungutan tidak resmi.
    Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
    kerna sama-sama anak jalan raya.
    …………………............
    Hidup macam apa ini !
    Orang-orang dipindah kesana ke mari.
    Bukan dari tujuan ke tujuan.
    Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
    ………….............
    Kini kita bersandingan, saudara.
    Kamu kenal bau bajuku.
    Jangan kamu ragu-ragu,
    kita memang pernah bertemu.
    Waktu itu hujan rinai.
    Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
    tepat pada waktu kamu juga menariknya.
    Kita saling berpandangan.
    Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
    Aku membuka mulut,
    hendak berkata sesuatu……
    Tak sempat !
    Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
    Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
    aku melihat kamu
    membawa helaian plastik itu
    ke satu gubuk karton.
    Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
    dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
    Sebungkus nasi yang dicuri,
    itulah santapan.
    Kolong kios buku di terminal
    itulah peraduan.
    Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
    karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
    …………..........
    Hidup macam apa hidup ini.
    Di taman yang gelap orang menjual badan,
    agar mulutnya tersumpal makan.
    Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
    agar pantatnya diganjal sedan.
    ……...........
    Duabelas pasang payudara gemerlapan,
    bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
    Dan di bawah semuanya,
    celana dalam sutera warna kesumba.
    Ya, saudara,
    Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
    Ragu-ragu apa pula
    kita memang pernah berjumpa.
    Kita telah menyaksikan,
    betapa para pembesar
    menjilati selangkang wanita,
    sambil kepalanya diguyur anggur.
    Ya, kita sama-sama germo,
    yang menjahitkan jas di Singapura
    mencat rambut di pangkuan bintang film,
    main golf, main mahyong,
    dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
    …….....
    Hidup dalam khayalan,
    hidup dalam kenyataan……
    tak ada bedanya.
    Kerna khayalan dinyatakan,
    dan kenyataan dikhayalkan,
    di dalam peradaban fatamorgana.
    ……….
    Ayo, jangan lagi sangsi,
    kamu kenal suara batukku.
    Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
    Ya, memang aku. Temanmu dulu.
    Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
    bergiliran meniduri gula-gulanya,
    dan mengintip ibumu main serong
    dengan ajudan ayahmu.
    Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
    Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
    dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
    di samping kere di Malioboro.
    Kita alami semua ini,
    kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
    …..
    Hidup melayang-layang.
    Selangit,
    melayang-layang.
    Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
    meninggi…. Ke awan……
    Peraturan dan hukuman,
    kitalah yang empunya.
    Kita tulis dengan keringat di ketiak,
    di atas sol sepatu kita.
    Kitalah gelandangan kaya,
    yang perlu meyakinkan diri
    dengan pembunuhan.
    …........
    Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
    Kini kita bertemu lagi.
    Ya, jangan kamu ragu-ragu,
    kita memang pernah bertemu.
    Bukankah tadi telah kamu kenal
    betapa derap langkahku ?
    Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,
    membakari mobil-mobil,
    melambaikan poster-poster,
    dan berderap maju, berdemonstrasi.
    Kita telah sama-sama merancang strategi
    di panti pijit dan restoran.
    Dengan arloji emas,
    secara teliti kita susun jadwal waktu.
    Bergadang, berunding di larut kelam,
    sambil mendekap hostess di kelab malam.
    Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
    Politik adalah cara merampok dunia.
    Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
    untuk menikmati giliran berkuasa.
    Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
    dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
    lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
    Politik adalah festival dan pekan olah raga.
    Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
    Dan bila ada orang banyak bacot,
    kita cap ia sok pahlawan.
    …..........................
    Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?
    Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
    Di hari-hari yang berat,
    aku cari kacamataku,
    dan tidak ketemu.
    ……............
    Ya, inilah aku ini !
    Jangan lagi sangsi !
    Inilah bau ketiakku.
    Inilah suara batukku.
    Kamu telah menjamahku,
    jangan lagi kamu ragau.
    Kita telah sama-sama berdiri di sini,
    melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
    gunung yang kelabu membara,
    kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
    di putar blue-film di dalamnya.
    …………………
    Kekayaan melimpah.
    Kemiskinan melimpah.
    Darah melimpah.
    Ludah menyembur dan melimpah.
    Waktu melanda dan melimpah.
    Lalu muncullah banjir suara.
    Suara-suara di kolong meja.
    Suara-suara di dalam lacu.
    Suara-suara di dalam pici.
    Dan akhirnya
    dunia terbakar oleh tatawarna,
    Warna-warna nilon dan plastik.
    Warna-warna seribu warna.
    Tidak luntur semuanya.
    Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
    dari suatu kejadian,
    yang kita tidak tahu apa-apa,
    namun lahir dari perbuatan kita.
                    Yogyakarta, 21 Juni 1977
                    Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK MATA-MATA
Oleh :
W.S. Rendra

            Ada suara bising di bawah tanah.
            Ada suara gaduh di atas tanah.
            Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
            Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
            Dan, lho, ini di belakang saya
            ada tentara marah-marah.
            Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
            Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.
            Aku melihat isyarat-isyarat.
            Semua tidak jelas maknanya.
            Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
            menggangu pemandanganku.
            Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
            Pendengaran dan penglihatan
            menyesakkan perasaan,
            membuat keresahan -
            Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
            terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
            Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
            Tak ada yang tahu.
            Betapa kita akan tahu,
            kalau koran-koran ditekan sensor,
            dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
            Koran-koran adalah penerusan mata kita.
            Kini sudah diganti mata yang resmi.
            Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
            Kita hanya diberi gambara model keadaan
            yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
            Mata rakyat sudah dicabut.
            Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
            Mata pemerintah juga diancam bencana.
            Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
            Terasing di belakang meja kekuasaan.
            Mata pemerintah yang sejati
            sudah diganti mata-mata.
            Barisan mata-mata mahal biayanya.
            Banyak makannya.
            Sukar diaturnya.
            Sedangkan laporannya
            mirp pandangan mata kuda kereta
            yang dibatasi tudung mata.
            Dalam pandangan yang kabur,
            semua orang marah-marah.
            Rakyat marah, pemerinta marah,
            semua marah lantara tidak punya mata.
            Semua mata sudah disabotir.
            Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.
            Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978
            Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK MATAHARI
Oleh :
W.S. Rendra

            Matahari bangkit dari sanubariku.
            Menyentuh permukaan samodra raya.
            Matahari keluar dari mulutku,
            menjadi pelangi di cakrawala.
            Wajahmu keluar dari jidatku,
            wahai kamu, wanita miskin !
            kakimu terbenam di dalam lumpur.
            Kamu harapkan beras seperempat gantang,
            dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
            Satu juta lelaki gundul
            keluar dari hutan belantara,
            tubuh mereka terbalut lumpur
            dan kepala mereka berkilatan
            memantulkan cahaya matahari.
            Mata mereka menyala
            tubuh mereka menjadi bara
            dan mereka membakar dunia.
            Matahri adalah cakra jingga
            yang dilepas tangan Sang Krishna.
            Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
            ya, umat manusia !
            Yogya, 5 Maret 1976
            Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK ORANG KEPANASAN
Oleh :
W.S. Rendra

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK kepadamu
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
Suara Merdeka,    Jumat, 15 Mei 1998

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU
(Untuk puteraku, Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra

            Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.
            Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
            Hatinya damai,
            di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
            karena ia telah lunas
            menjalani kewjiban dan kewajarannya.
            Setelah ia wafat
            apakah petani-petani akan tetap menderita,
            dan para wanita kampung
            tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
            Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
            Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
            ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
            Saat itu ia mendengar
            nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
            Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.
            Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
            Di saat badan berlumur darah,
            jiwa duduk di atas teratai.
            Ketika ibu-ibu meratap
            dan mengurap rambut mereka dengan debu,
            roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
            untuk menanam benih
            agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
            - dari zaman ke zaman
                Jakarta, 2 Sptember 1977
                Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA
Oleh :
W.S. Rendra

        Matahari terbit pagi ini
        mencium bau kencing orok di kaki langit,
        melihat kali coklat menjalar ke lautan,
        dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
        Lalu kini ia dua penggalah tingginya.
        Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
        memeriksa keadaan.
        Kita bertanya :
        Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
        Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
        Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
        Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
        Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina
        Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
        Ada yang duduk, ada yang diduduki.
        Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
        Dan kita di sini bertanya :
        “Maksud baik saudara untuk siapa ?
        Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
        Kenapa maksud baik dilakukan
        tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
        Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
        Perkebunan yang luas
        hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
        Alat-alat kemajuan yang diimpor
        tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
        Tentu kita bertanya :
        “Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
        Sekarang matahari, semakin tinggi.
        Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
        Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
        Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
        Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
        akan menjadi alat pembebasan,
        ataukah alat penindasan ?
        Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
        Malam akan tiba.
        Cicak-cicak berbunyi di tembok.
        Dan rembulan akan berlayar.
        Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
        Akan hidup di dalam bermimpi.
        Akan tumbuh di kebon belakang.
        Dan esok hari
        matahari akan terbit kembali.
        Sementara hari baru menjelma.
        Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
        Atau masuk ke sungai
        menjadi ombak di samodra.
        Di bawah matahari ini kita bertanya :
        Ada yang menangis, ada yang mendera.
        Ada yang habis, ada yang mengikis.
        Dan maksud baik kita
        berdiri di pihak yang mana !
        Jakarta 1 Desember 1977
        Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja.
SAJAK POTRET KELUARGA
Oleh :
W.S. Rendra

        Tanggal lima belas tahun rembulan.
        Wajah molek bersolek di angkasa.
        Kemarau dingin jalan berdebu.
        Ular yang lewat dipagut naga.
        Burung tekukur terpisah dari sarangnya.
Kepada rekannya berkatalah suami itu :
“Semuanya akan beres. Pasti beres.
Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.
Kesukaran selalu ada.
Itulah namanya kehidupan.
Apa yang kita punya sudah lumayan.
Asal keluarga sudah terjaga,
rumah dan mobil juga ada,
apa palgi yang diruwetkan ?
Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.
Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.
Di rumah ada TV, anggrek,
air conditioning, dan juga agama.
Inilah kesejahteraan yang harus dibina.
Kita mesti santai.
Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.
Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.
Salah-salah malah hilang jabatan.”
………
        Tanggal lima belas tahun rembulan
        Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang.
        Malam disambut suara halus dalam rumputan.
        Anjing menjenguk keranjang sampah.
        Kucing berjalan di bubungan atap.
        Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.
Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :
“Hari-hari mengalir seperti sungai arak.
Udara penuh asap candu.
Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.
Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.
Tak ada yang bisa diambil pegangan.
Suamiku asyik dengan mobilnya
padahal hidupnya penuh utang.
Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.
Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.
Apakah jaminan pendidikannya ?
Ah, Suamiku !
Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,
pikirannya jelas pula.
Tetapi kini serba tidak kebenaran.
Setiap barang membuatnya berengsek.
Padahal harganya mahal semua.
TV Selalu dibongkar.
Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.
Akhirnya tertidur…….
Sementara TV-nya membuat kegaduhan.
Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.
Gampang marah soal mobil
Gampang pula kambuh bludreknya
Makanan dengan cermat dijaga
malahan kena sakit gula.
Akulah yang selalu kena luapan.
Ia marah karena tak berdaya.
Ia menyembunyikan kegagalam.
Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.
Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !”
…......................................
            Tanggal lima belas tahun rembulan.
            Tujuh unggas tidur di pohon nangka
            Sedang di tanah ular mencari mangsa.
            Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.
            Di tebing yang landai tidurlah buaya.
            Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.
Sang Putri yang di SLA, berkata :
“Kawinilah aku. Buat aku mengandung.
Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.
Aku membenci duniaku ini.
Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.
Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV
Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.
Suasana tegang di dalam rumah
meskipun rapi perabotannya.
Aku yakin keluargaku mencintaiku.
Tetapi semuanya ini untuk apa ?
Untuk apa hidup keluargaku ini ?
Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?
Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?
Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?
Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.
Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.
Untuk apakah kehidupan kami ini ?
Untuk makan ? Untuk baca komik ?
Untuk apa ?
Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !
Kemacetan mencengkeram hidup kami.
Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.
Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “
………....................................
Tanggal lima belas tahun rembulan.
Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya
di bawah cahaya bulan.
Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.
Akar bambu bercahaya pospor.
Keleawar terbang menyambar-nyambar.
Seekor kadal menangkap belalang.
Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :
“ Ayah dan ibu yang terhormat,
aku pergi meninggalkan rumah ini.
Cinta kasih cukup aku dapatkan.
Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.
Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.
Aku menolak untuk mengejar kemewahan,
tetapi kehilangan kesejahteraan.
Bahkan kemewahan yang ayah punya
tidak juga berarti kemakmuran.
Ayah berkata : “santai, santai ! “
tetapi sebenarnya ayah hanyut
dibawa arus jorok keadaan
Ayah hanya punya kelas,
tetapi tidak punya kehormatan.
Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?
Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?
Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?
Seorang petani lebih produktip daripada ayah.
Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.
Ayah hanya bisa membuat peraturan.
Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.
Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.
Ayah tidak produktip melainkan destruktip.
Namun toh ayah mendapat gaji besar !
Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?
tidak pernah, bukan ?
Terlalu beresiko, bukan ?
Apakah aku harus mencontoh ayah ?
Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.
Ayah dan ibu, selamat tinggal.
Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “
Yogya, 10 Juli 1975.
Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK PULAU BALI
Oleh :
W.S. Rendra

            Sebab percaya akan keampuhan  industri
            dan yakin bisa memupuk modal nasional
            dari kesenian dan keindahan alam,
            maka Bali menjadi obyek pariwisata.
            Betapapun :
            tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,
            Bali harus dibuka untuk pariwisata.
            Sebab :
            pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,
            dan maskapai penerbangan harus berjalan.
            Harus ada orang-orang untuk diangkut.
            Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.
            Dan waktu senggang manusia,
            serta masa berlibur untuk keluarga,
            harus bisa direbut oleh maskapai
            untuk diindustrikan.
            Dan Bali,
            dengan segenap kesenian,
            kebudayaan, dan alamnya,
            harus bisa diringkaskan,
            untuk dibungkus dalam kertas kado,
            dan disuguhkan pada pelancong.
            Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia,
            di muka perkemahan kaum Badui,
            di sisi mana pun yang tak terduga,
            lebih mendadak dari mimpi,
            merupakan kejutan kebudayaan.
            Inilah satu kekuasaan baru.
            Begitu cepat hingga kita terkesiap.
            Begitu lihai sehingga kita terkesima.
            Dan sementara kita bengong,
            pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,
            membawa bentuk kekuatan modalnya :
            lapangan terbang. “hotel - bistik - dan - coca cola”,
            jalan raya, dan para pelancong.
            “Oh, look, honey - dear !
            Lihat orang-orang pribumi itu!
            Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.
            Fantastic ! Kita harus memotretnya !
            ................................
            Awas ! Jangan dijabat tangannya !
            senyum saja and say hello.
            You see, tangannya kotor
            Siapa tahu ada telor cacing di situ.
            …………………….
            My God, alangkah murninya mereka.
            Ia tidak menutupi teteknya !
            Look, John, ini benar-benar tetek.
            Lihat yang ini ! O, sempurna !
            Mereka bebas dan spontan.
            Aku ingin seperti mereka…..
            Eh, maksudku…..
            Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja.
            Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.
            Look, now, John, jangan cemberut !
            Berdirilah di sampingnya,
            aku potret di sini.
            Ah ! Fabolous !”
            Dan Bank Dunia
            selalu tertarik membantu negara miskin
            untuk membuat proyek raksasa.
            Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.
            Dan kemajuan kita
            adalah kemajuan budak
            atau kemajuan penyalur dan pemakai.
            Maka di Bali
            hotel-hotel pribumi bangkrut
            digencet oleh packaged tour.
            Kebudayaan rakyat ternoda
            digencet standar dagang internasional.
            Tari-tarian bukan lagi satu mantra,
            tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.
            Pahatan dan ukiran  bukan lagi ungkapan jiwa,
            tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.
            Hidup dikuasai kehendak manusia,
            tanpa menyimak jalannya alam.
            Kekuasaan kemauan manusia,
            yang dilembagakan dengan kuat,
            tidak mengacuhkan naluri ginjal,
            hati, empedu, sungai, dan hutan.
            Di Bali :
            pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
            telah dicemarkan
            Pejambon, 23 Juni 1977.
            Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK S L A
Oleh :
W.S. Rendra

    Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya
    Bagaimana itu mungkin ?
    Itu mungkin.
    Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
    Semua boleh. Semua tidak boleh.
    Tergantung pada cuaca.
    Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
    Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
    Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
    Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
    Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
    Dan juga ingin jaminan pil penenang,
    tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
    Maka berkatalah ia
    Kepada orang tua murid-muridnya :
    “Kita bisa mengubah keadaan.
    Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
    terpandang di antara tetangga,
    boleh dibanggakan pada kakak mereka.
    Soalnya adalah kerjasama antara kita.
    Jangan sampai kerjaku terganggu,
    karna atap bocor.”
    Dan papa-papa semua senang.
    Di pegang-pegang tangan ibu guru,
    dimasukan uang ke dalam genggaman,
    serta sambil lalu,
    di dalam suasana persahabatan,
    teteknya disinggung dengan siku.
    Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.
    Inilah ajaran tentang perundingan,
    perdamaian, dan santainya kehidupan.
    Ibu guru berkata :
    “Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
    Kita harus menguasai mesin industri.
    Kita harus maju seperti Jerman,
    Jepang, Amerika.
    Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”
    Murid-murid tertawa,
    dan mengeluarkan rokok mereka.
    “Karena mengingat kesopanan,
    jangan kalian merokok.
    Kelas adalah ruangbelajar.
    Dan sekarang : daftar logaritma !”
    Murid-murid tertawa dan berkata :
    “Kami tidak suka daftar logaritma.
    Tidak ada gunanya !”
    “kalian tidak ingin maju ?”
    “Kemajuan bukan soal logaritma.
    Kemajuan adalah soal perundingan.”
    “Jadi apa yang kaian inginkan ?”
    “Kami tidak ingin apa-apa.
    Kami sudah punya semuanya.”
    “Kalian mengacau !”
    “Kami tidak mengacau.
    Kami tidak berpolitik.
    Kami merokok dengan santai.
    Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
    santai, tanpa politik
    berunding dengan Cina
    berunding dengan Jepang
    menciptakan suasana girang.
    Dan di saat ada pemilu,
    kami membantu keamanan,
    meredakan partai-partai.”
    Murid-murid tertawa.
    Mereka menguasai perundingan.
    Ahli lobbying.
    Faham akan gelagat.
    Pandai mengikuti keadaan.
    Mereka duduk di kantin,
    minum sitrun,
    menghindari ulangan sejarah.
    Mereka tertidur di bangku kelas,
    yang telah mereka bayar sama mahal
    seperti sewa kamar di hotel.
    Sekolah adalah pergaulan,
    yang ditentukan oleh mode,
    dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
    Dan bila ibu guru berkata :
    “Keluarkan daftar logaritma !”
    Murid-murid tertawa.
    Dan di dalam suasana persahabatan,
    mereka mengobel ibu guru mereka.
                    Yogya, 22 Juni 1977.
                    Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEBATANG LISONG
Oleh :
W.S. Rendra

            Menghisap sebatang lisong
            melihat Indonesia Raya,
            mendengar 130 juta rakyat,
            dan di langit
            dua tiga cukong mengangkang,
            berak di atas kepala mereka
            Matahari terbit.
            Fajar tiba.
            Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
            tanpa pendidikan.
            Aku bertanya,
            tetapi pertanyaan-pertanyaanku
            membentur meja kekuasaan yang macet,
            dan papantulis-papantulis para pendidik
            yang terlepas dari persoalan kehidupan.
            Delapan juta kanak-kanak
            menghadapi satu jalan panjang,
            tanpa pilihan,
            tanpa pepohonan,
            tanpa dangau persinggahan,
            tanpa ada bayangan ujungnya.
            …………………
            Menghisap udara
            yang disemprot deodorant,
            aku melihat sarjana-sarjana menganggur
            berpeluh di jalan raya;
            aku melihat wanita bunting
            antri uang pensiun.
            Dan di langit;
            para tekhnokrat berkata :
            bahwa bangsa kita adalah malas,
            bahwa bangsa mesti dibangun;
            mesti di-up-grade
            disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
            Gunung-gunung menjulang.
            Langit pesta warna di dalam senjakala
            Dan aku melihat
            protes-protes yang terpendam,
            terhimpit di bawah tilam.
            Aku bertanya,
            tetapi pertanyaanku
            membentur jidat penyair-penyair salon,
            yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
            sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
            dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
            termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
            Bunga-bunga bangsa tahun depan
            berkunang-kunang pandang matanya,
            di bawah iklan berlampu neon,
            Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
            menjadi gemalau suara yang kacau,
            menjadi karang di bawah muka samodra.
            ………………
            Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
            Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
            tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
            Kita mesti keluar ke jalan raya,
            keluar ke desa-desa,
            mencatat sendiri semua gejala,
            dan menghayati persoalan yang nyata.
            Inilah sajakku
            Pamplet masa darurat.
            Apakah artinya kesenian,
            bila terpisah dari derita lingkungan.
            Apakah artinya berpikir,
            bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.
SAJAK SEBOTOL BIR
Oleh :
W.S. Rendra

    Menenggak bir sebotol,
    menatap dunia,
    dan melihat orang-orang kelaparan.
    Membakar dupa,
    mencium bumi,
    dan mendengar derap huru-hara.
    Hiburan kota besar dalam semalam,
    sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
    Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
    Mengapa kita membangun kota metropolitan ?
    dan alpa terhadap peradaban di desa ?
    Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
    dan tidak kepada pengedaran ?
    Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
    Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
     akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
    Kota metropolitan di sini,
    adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
     Australia, dan negara industri lainnya.
    Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
    Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
    Kini telah terlantarkan.
    Menjadi selokan atau kubangan.
    Jalanlalu lintas masa kini,
    mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
    adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
     pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
     bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
    Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
    tidak untuk petani,
    tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
    Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
    Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
    tanpa ada daya untuk menciptakan.
    Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
    Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?
    Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
    yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
    harus senantiasa menghasilkan….
    Dan akhirnya memaksa negara lain
    untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
    …………………………….
    Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?
    Apakah pemikiran ekonomi kita
    hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
    Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
    Apakah kita akan hanyut saja
    di dalam kekuatan penumpukan
    yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
    terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
    ……………………………….
    Kita telah dikuasai satu mimpi
    untuk menjadi orang lain.
    Kita telah menjadi asing
    di tanah leluhur sendiri.
    Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
    dan menghamba ke Jakarta.
    Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
    dan menghamba kepada Jepang,
    Eropa, atau Amerika.
    Pejambon, 23 Juni 1977
    Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEONGGOK JAGUNG
Oleh :
W.S. Rendra

            Seonggok jagung di kamar
            dan seorang pemuda
            yang kurang sekolahan.
            Memandang jagung itu,
            sang pemuda melihat ladang;
            ia melihat petani;
            ia melihat panen;
            dan suatu hari subuh,
            para wanita dengan gendongan
            pergi ke pasar ………..
            Dan ia juga melihat
            suatu pagi hari
            di dekat sumur
            gadis-gadis bercanda
            sambil menumbuk jagung
            menjadi maisena.
            Sedang di dalam dapur
            tungku-tungku menyala.
            Di dalam udara murni
            tercium kuwe jagung
            Seonggok jagung di kamar
            dan seorang pemuda.
            Ia siap menggarap jagung
            Ia melihat kemungkinan
            otak dan tangan
            siap bekerja
            Tetapi ini :
            Seonggok jagung di kamar
            dan seorang pemuda tamat SLA
            Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
            Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
            Ia memandang jagung itu
            dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
            Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
            Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
            Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
            Ia melihat nomor-nomor lotre.
            Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
            Seonggok jagung di kamar
            tidak menyangkut pada akal,
            tidak akan menolongnya.
            Seonggok jagung di kamar
            tak akan menolong seorang pemuda
            yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
            dan tidak dari kehidupan.
            Yang tidak terlatih dalam metode,
            dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
            yang hanya terlatih sebagai pemakai,
            tetapi kurang latihan bebas berkarya.
            Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
            Aku bertanya :
            Apakah gunanya pendidikan
            bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
            di tengah kenyataan persoalannya ?
            Apakah gunanya pendidikan
            bila hanya mendorong seseorang
            menjadi layang-layang di ibukota
            kikuk pulang ke daerahnya ?
            Apakah gunanya seseorang
            belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
            atau apa saja,
            bila pada akhirnya,
            ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
            “ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
                    Tim, 12 Juli 1975
                    Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON
Oleh :
W.S. Rendra

    Inilah sajakku,
    seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
    dengan kedua tangan kugendong di belakang,
    dan rokok kretek yang padam di mulutku.
    Aku memandang zaman.
    Aku melihat gambaran ekonomi
    di etalase toko yang penuh merk asing,
    dan jalan-jalan bobrok antar desa
    yang tidak memungkinkan pergaulan.
    Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
    Aku meludah di atas tanah.
    Aku berdiri di muka kantor polisi.
    Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
    Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
    Dan sebatang jalan panjang,
    punuh debu,
    penuh kucing-kucing liar,
    penuh anak-anak berkudis,
    penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
    Aku berjalan menempuh matahari,
    menyusuri jalan sejarah pembangunan,
    yang kotor dan penuh penipuan.
    Aku mendengar orang berkata :
    "Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
    Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
    kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
    Mengatasi kemiskinan
    meminta pengorbanan sedikit hak asasi"
    Astaga, tahi kerbo apa ini !
    Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?
    Di negeri ini hak asasi dikurangi,
    justru untuk membela yang mapan dan kaya.
    Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
    dibikin tak berdaya.
    O, kepalsuan yang diberhalakan,
    berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
    Aku mendengar bising kendaraan.
    Aku mendengar pengadilan sandiwara.
    Aku mendengar warta berita.
    Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
    Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
    seorang yang gigih, melawan buruh,
    telah diculik dan dibunuh,
    oleh golongan orang-orang yang marah.
    Aku menatap senjakala di pelabuhan.
    Kakiku ngilu,
    dan rokok di mulutku padam lagi.
    Aku melihat darah di langit.
    Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.
    Yang kuasa serba menekan.
    Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
    Bajingan dilawan secara bajingan.
    Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
    Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
    maka bajingan jalanan yang akan diadili.
    Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
    Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
    Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
    Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
    Apakah kata nurani kemanusiaan ?
    O, Senjakala yang menyala !
    Singkat tapi menggetarkan hati !
    Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !
    O, gambaran-gambaran yang fana !
    Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
    dan langit di luar dilabur bias senjakala,
    maka nurani dibius tipudaya.
    Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
    Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
    Kini aku berdiri di perempatan jalan.
    Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
    Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
    Sebagai seorang manusia.
        Pejambon, 23 Oktober 1977
        Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API
Oleh :
W.S. Rendra

       Bagaimana mungkin kita bernegara
       Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
       Bagaimana mungkin kita berbangsa
       Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
       bersama ?
       Itulah sebabnya
       Kami tidak ikhlas
       menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
       dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
       sehingga menjadi lautan api
       Kini batinku kembali mengenang
       udara panas yang bergetar dan menggelombang,
       bau asap, bau keringat
       suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
       langit berwarna kesumba
       Kami berlaga
       memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
       Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
       yang bisa dialami dengan nyata
       Mana mungkin itu bisa terjadi
       di dalam penindasan dan penjajahan
       Manusia mana
       Akan membiarkan keturunannya hidup
       tanpa jaminan kepastian ?
       Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
       Hidup yang diperkembangkan
       dan hidup yang dipertahankan
       Itulah sebabnya kami melawan penindasan
       Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
       bangsa tetap terjaga
       Kini aku sudah tua
       Aku terjaga dari tidurku
       di tengah malam di pegunungan
       Bau apakah yang tercium olehku ?
       Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
       yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?
       Ataukah ini bau limbah pencemaran ?
       Gemuruh apakah yang aku dengar ini ?
       Apakah ini deru perjuangan masa silam
       di tanah periangan ?
       Ataukah gaduh hidup yang rusuh
       karena dikhianati dewa keadilan.
       Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
       dibangunkan oleh mimpi ?
       Apakah aku tersentak
       Oleh satu isyarat kehidupan ?
       Di dalam kesunyian malam
       Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
       Apakah yang terjadi ?
       Darah teman-temanku
       Telah tumpah di Sukakarsa
       Di Dayeuh Kolot
       Di Kiara Condong
       Di setiap jejak medan laga. Kini
       Kami tersentak,
       Terbangun bersama.
       Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
       Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?
       Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
       Apakah kita masih sama-sama setia
       Membela keadilan hidup bersama
       Manusia dari setiap angkatan bangsa
       Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
       Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
       Dan menghadapi pertanyaan jaman :
       Apakah yang terjadi ?
       Apakah yang telah kamu lakukan ?
       Apakah yang sedang kamu lakukan ?
       Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
       Dari jawaban yang kita berikan.
                  Sajak-sajak : Rendra, Sutardji Calzoum Bachri
                    pada Hari Kebangkitan Nasional 1990

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972

SAJAK TANGAN
Oleh :
W.S. Rendra

                Inilah tangan seorang mahasiswa,
                tingkat sarjana muda.
                Tanganku. Astaga.
                Tanganku menggapai,
                yang terpegang anderox hostes berumbai,
                Aku bego. Tanganku lunglai.
                Tanganku mengetuk pintu,
                tak ada jawaban.
                Aku tendang pintu,
                pintu terbuka.
                Di balik pintu ada lagi pintu.
                Dan selalu :
                ada tulisan jam bicara
                yang singkat batasnya.
                Aku masukkan tangan-tanganku ke celana
                dan aku keluar mengembara.
                Aku ditelan Indonesia Raya.
                Tangan di dalam kehidupan
                muncul di depanku.
                Tanganku aku sodorkan.
                Nampak asing di antara tangan beribu.
                Aku bimbang akan masa depanku.
                Tangan petani yang berlumpur,
                tangan nelayan yang bergaram,
                aku jabat dalam tanganku.
                Tangan mereka penuh pergulatan
                Tangan-tangan yang menghasilkan.
                Tanganku yang gamang
                tidak memecahkan persoalan.
                Tangan cukong,
                tangan pejabat,
                gemuk, luwes, dan sangat kuat.
                Tanganku yang gamang dicurigai,
                disikat.
                Tanganku mengepal.
                Ketika terbuka menjadi cakar.
                Aku meraih ke arah delapan penjuru.
                Di setiap meja kantor
                bercokol tentara atau orang tua.
                Di desa-desa
                para petani hanya buruh tuan tanah.
                Di pantai-pantai
                para nelayan tidak punya kapal.
                Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
                Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
                Tanganku mengepal.
                Tetapi tembok batu didepanku.
                Hidupku tanpa masa depan.
                Kini aku kantongi tanganku.
                Aku berjalan mengembara.
                Aku akan menulis kata-kata kotor
                di meja rektor
                TIM, 3 Juli 1977
                Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING
Oleh :
W.S. Rendra

        Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.
        Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
        Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
        Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
        kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
        Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
        karena terlibat aku di dalam napasmu.
        Dari bis kota ke bis kota
        kamu memburuku.
        Kita duduk bersandingan,
        menyaksikan hidup yang kumal.
        Dan perlahan tersirap darah kita,
        melihat sekuntum bunga telah mekar,
        dari puingan masa yang putus asa.
        Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977
        Potret Pembangunan dalam Puisi

TAHANAN
Oleh :
W.S. Rendra

                  Atas ranjang batu
                  tubuhnya panjang
                  bukit barisan tanpa bulan
                  kabur dan liat
                  dengan mata sepikan terali
                  Di lorong-lorong
                  jantung matanya
                  para pemuda bertangan merah
                  serdadu-serdadu Belanda rebah
                  Di mulutnya menetes
                  lewat mimpi
                  darah di cawan tembikar
                  dijelmakan satu senyum
                  barat  di perut gunung
                  (Para pemuda bertangan merah
                  adik lelaki neruskan dendam)
                  Dini hari bernyanyi
                  di luar dirinya
                  Anak lonceng
                  menggeliat enam kali
                  di perut ibunya
                  Mendadak
                  dipejamkan matanya
                  Sipir memutar kunci selnya
                  dan berkata
                  -He, pemberontak
                  hari yang berikut bukan milikmu !
                  Diseret di muka peleton algojo
                  ia meludah
                  tapi tak dikatakannya
                  -Semalam kucicip sudah
                  betapa lezatnya madu darah.
                  Dan tak pernah didengarnya
                  enam pucuk senapan
                  meletus bersama
                                                      Kisah
                                                      Th VI, No 11
                                                      Nopember 1956

----------------------------
Rumpun Alang-alang
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada
Surat Cinta
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku !
Kaki-kaki hujan yang runcing
menyentuhkan ujungnya di bumi,
Kaki-kaki cinta yang tegas
bagai logam berat gemerlapan
menempuh ke muka
dan tak kan kunjung diundurkan.
Selusin malaikat
telah turun
di kala hujan gerimis
Di muka kaca jendela
mereka berkaca dan mencuci rambutnya
untuk ke pesta.
Wahai, dik Narti
dengan pakaian pengantin yang anggun
bunga-bunga serta keris keramat
aku ingin membimbingmu ke altar
untuk dikawinkan
Aku melamarmu,
Kau tahu dari dulu :
tiada lebih buruk
dan tiada lebih baik
dari yang lain ......
penyair dari kehidupan sehari-hari,
orang yang bermula dari kata
kata yang bermula dari
kehidupan, pikir dan rasa.
Semangat kehidupan yang kuat
bagai berjuta-juta jarum alit
menusuki kulit langit :
kantong rejeki dan restu wingit
Lalu tumpahlah gerimis
Angin dan cinta
mendesah dalam gerimis.
Semangat cintaku yang kuta
batgai seribu tangan gaib
menyebarkan seribu jaring
menyergap hatimu
yang selalu tersenyum padaku.
Engkau adalah putri duyung
tawananku
Putri duyung dengan
suara merdu lembut
bagai angin laut,
mendesahlah bagiku !
Angin mendesah
selalu mendesah
dengan ratapnya yang merdu.
Engkau adalah putri duyung
tergolek lemas
mengejap-ngejapkan matanya yang indah
dalam jaringku
Wahai, putri duyung,
aku menjaringmu
aku melamarmu
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan.
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku !



Baca Juga :
Kumpulan Puisi

Biografi Penyair
Bookmark and Share